Thursday, December 31, 2015

Penyesalan itu

Sebuah penyesalan itu datang selalu terlambat. terlambat untuk menghampiri dia yang merasa membuat kesalahan, dia yang merasa dirinya sia-sia, dan dia yang entah karena alasan apa yang kerap dihantui rasa penyesalan yang menempel bagaikan plak di masa depannya.

Bagaikan virus, penyesalah akan terus menggerogoti jiwa sedikit demi sedikit, mengoyak organ-organ didalamnya seperti harimau mengoyak mangsanya. menggores setiap guratan-guratan otot hingga yang terlihat hanyalah tulang putih yang tak bernyawa. teronggok, menunggu untuk dilupakan.

Apakah penyesalan itu membuatmu merasa tidak bernyawa? membuatmu merasa menjadi raga yang tak bertuan. merasa bimbang akan setiap langkah yang harus dilakukan, membuatmu seperti sebuah orkestra yang tidak memiliki kondaktur didalamnya? Apakah sebesar itu pengaruh sebuah penyesalan dalam diri manusia?

Ya. sebagai seseorang yang sudah bersahabat karib dengan penyesalan, aku dapat menjawab pertanyaan di atas dengan lantang. Apa lagi yang ingin kau tanyakan kepada aku, seorang manusia, yang mengubur beribu penyesalan di dalam setiap rongga kehidupanku? Aku tentu akan dapat menjawab semuanya dan menjadikannya sebuah narasi yang apik, yang membuatmu seperti mendengarkan sebuah dongeng kerajaan yang kamu sukai dimasa kecilmu.

Tapi…. bukan berarti aku tidak pernah takut dengan rasa penyesalan yang selalu datang disetiap detik aku bernafas. Setiap saat lubang hidungku menghirup Oksigen bercampur polusi dari udara tempatku berpijak, rasa penyesalan itu, rasa penyesalan yang sudah aku anggap sebagai sahabat karibku, seperti tersedot masuk ke dalam saluran pernafasanku. Membuatku tersedak, dan lupa cara bernafas selama sekian detik.

Keringat dingin sebesar jagung itu tetap ada. tetap mendesak keluar dari lubang pori-pori kulitku yang berwarna kecoklatan. Jantung, penopang utama di dalam tubuhku, membunyikan genderangnya dan memukulnya hingga membuat rongga dadaku terasa sakit dan sesak. Otakku, komandor terbesar yang mengendalikan semuanya, selalu memutarkan sebuah film masa laluku, terus menerus seperti CD rusak. Mesin - mesin tubuhku seperti tidak mau berhenti untuk terus mengingatkanku bahwa penyesalan bukanlah sahabat karibku, dan selamanya tidak akan pernah bisa menjadi seperti itu


Mungkin…. jika aku mengakhir semuanya, dan benar-benar tenggelam di dalam penyesalan itu, menghentikan semua mesin-mesin yang ada diriku, mungkin….. hanya mungkin…. aku baru benar-benar bisa bersahabat karib dengan penyesalan itu. Atau mungkin bahkan bisa bebas dalam jeratannya?

Thursday, October 22, 2015

Kepada Kamu dan Langit Malam Ini

Kepada kamu yang mungkin sedang menatap langit malam yang sama, walaupun kita saat ini terpisahkan 485km jauhnya. Langit malam yang menjadi saksi bisu tentang cerita aku dan kamu. Yang menjadi saksi di mana dan bagaimana kita bertemu. Yang menjadi saksi di mana jantungku mulai berdetak untuk pertama kalinya ketika kamu berada didekatku. Menjadi saksi di mana senyumku berpendar hanya untukmu seorang. Yang menjadi saksi di mana pertamakali aku merasakan hangat tubuhmu dan mencium aroma tubuhmu, yang ternyata menjadi salah satu hal favorit dalam 22 tahun aku bernafas. Menjadi saksi di mana relungku menjadi satu dengan relungmu, menyerahkan seluruh jiwa dan ragaku untuk pertama kalinya. Menjadi saksi di mana kecupan manis itu terbuat, yang ternyata menjadi awal dari sebuah elegi kehidupanku. Dan menjadi saksi terakhir di mana air mataku yang mendesak keluar ketika kamu menutup buku tentang cerita antara aku dan kamu. Atau bahkan menjadi saksi pada malam- malam yang menguras air mataku, yang tidak bisa aku kendalikan. Terlalu banyak yang mereka lihat dan rasakan.

Kepada kamu yang terus merasuki ingatanku. Selalu menemani ingatanku di setiap detik aku bernafas, di setiap langkah aku berjalan. Ingatanku kepadamu seperti lumut yang sudah berkerak, yang tidak bisa dengan mudah aku hilangkan dari memori. Apakah beribu bintang yang berpendar itu telah menyampaikan rasa rinduku kepadamu? Apakah angin malam telah membisikkan kepadamu kata-kata rindu yang aku ingin sampaikan kepadamu? Rasa rindu yang selalu aku titipkan kepada mereka disetiap malam yang kulalui tanpa dirimu disampingku. Yang tidak bisa aku sampaikan secara langsung, karena aku terlalu takut akan kenyataan yang ada. Rasa rindu yang terus menggerogoti diriku, seperti binatang buas yang ingin menghabisi sisa-sisa dalam diriku.

Apakah kamu tau bahwa terkadang aku merasa iri dengan malam. Di mana beribu bintang dapat menatap keindahan dirimu dengan mudahnya. Di mana angin malam dapat membelai dan mendekapmu dengan mesra, menyelimuti setiap inchi tubuhmu. Sesuatu yang dapat aku lakukan dengan mudahnya saat itu, tetapi tidak bisa aku lakukan dengan jarak dan situasi yang memisahkan kita.

Tapi aku tidak bisa menyalahkan jarak yang ada di antara aku dan kamu. Langit malam tau, bahwa bukan itu yang membuatku tidak dapat menyentuh setiap inchi tubuh dan jiwamu. Jarak antara fisikmu dengan fisikku tidak bisa mengalahkan jarak yang ada di antara jiwa kita. Aku, seperti virus dalam tubuhmu, yang sudah kamu musnahkan dengan cepat sejak lama. Virus yang tidak ingin kamu biarkan berlama-lama bersarang di dalam tubuh dan ingatanmu.
Andai saja aku dapat menganggapmu sebagai virus, seperti kamu menganggap keberadaanku di kehidupanmu. Karena langit malam tau bahwa aku tidak bisa melakukan itu. Oleh karena itu, kepada kalian langit malam, aku titipkan kembali rasa rinduku kepadanya. Jagalah dia seperti aku selalu menjaganya disetiap doa yang terucap di bibirku. 

Wednesday, August 19, 2015

Waktu

Kadang aku berpikir, jika aku tidak mengenalmu, apakah hidupku akan lebih baik dibandingkan sekarang? Apakah hatiku tidak perlu merasakan apa yang dirasakannya sekarang? Tapi apakah benar akan menjadi lebih baik? Atau apakah aku akan menjadi lebih terpuruk dibandingkan sekarang? Jika aku diberikan kesempatan untuk memutar balikkan waktu, dan diberikan pilihan untuk tidak bertemu dan mengenal dirimu, maka aku akan menolaknya. Kamu, walaupun kamu mungkin bukan kepingan puzzle untuk kehidupanku, tetapi kamu merupakan pelajaran terbaik yang ada di dalam hidupku.

Kalau aku boleh berkata, kamu adalah hal yang terbaik yang pernah ada di dalam kehidupanku. Memang terdengar kacangan, atau cheesy, tapi karenamu aku mendapatkan banyak hal yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya. Jika kamu mengaitkan dengan jantungku yang berdetak dengan liarnya atau kupu-kupu yang bergejolak di perutku ketika berada di dekatmu, bukan itu yang kamu ajarkan kepadaku. Jantungku dan kupu-kupu itu sudah ada sebelum aku bertemu dengan dirimu. Jauh sebelum aku tau bahwa ada eksistensi dirimu di alam semesta ini.

Tetapi aku pernah berpikir, mungkin saja kita bertemu sebelum kamu menyadari akan kehadiranku, atau aku menyadari akan kehadiranmu. Mungkin kita berpapasan. Atau mungkin kita sudah saling menyadari, tapi tidak ada yang berani untuk memulai. Pertemuan kita memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan untuk terjadi. Dan mengenal serta mencintaimu juga sudah ada dalam suratan hidupku. Seperti yang aku katakan sebelumnya, kamu adalah pembelajaran yang berharga untuk diriku yang masih buta akan kehidupan ini. Karena kamu, seperti guru yang mengajarkan dan mengenalkan dunia yang belum pernah tersentuh kepadaku.

Aku mencoba untuk mengingat bagaimana pertemuan pertama kita. Pertemuan yang menyenangkan dengan beribu memori yang selalu membuat senyumku mengembang seperti anak kecil yang dibelikan mainan baru oleh orang tuanya. Tidak ada yang istimewa memang, tetapi tetap membuat rasa bahagia itu muncul ketika mengingatnya. Aku tau seharusnya aku, perempuan yang mudah jatuh cinta, memang sudah seharusnya aku memasang perisaiku ketika pertemuan pertama itu.

Aku juga teringat bagaimana bahagianya diriku pada hari-hariku yang masih menghadirkan dirimu. Dengan hal-hal sepele yang kamu lakukan untukku, Dengan canda dan tawamu. Dengan aroma tubuh dan sentuhanmu. Dengan sapaan hangat darimu. Atau dengan sekedar aku bisa melihatmu dari kejauhan. Aku tau air mata itu tetap ada. Tetap mengiringi langkahku walaupun kamu masih ada di sampingku. Air mata itu seakan menyadarkanku untuk terbangun dan menyadari bahwa dirimu tidak nyata. Dan menyadarkanku bahwa kebahagiaan yang aku katakan itu hanyalah aku yang mengarangnya. Mengarang seperti tulisan-tulisan yang aku buat untuk dirimu.

Jika aku boleh berkata, kebahagiaan yang aku rasakan itu seakan terenggut dariku ketika kamu menghilang seperti buih-buih balon. Menghilang dengan cepatnya, tetapi meninggalkan bekas basah dan licin. Membuatku sekarang seakan lupa tentang apa itu bahagia. Membuatku seakan berpikir bahwa kebahagiaan dengan dirimu merupakan kebahagiaan yang nyata dan kebahagiaan yang lain merupakan kebagiaan yang semu. Berarti yang aku butuhkan hanyalah kehadiran dirimu untuk membuatku merasakan apa perasaan bahagia itu bukan? Tidak perlu memilikimu, tetapi hanya perlu eksistensimu didekatku. Untuk merasakan kebahagiaan yang aku inginkan.

Benarkah diriku tidak ingin memiliki mu? Bernahkah aku hanya ingin kamu hadir dalam kehidupanku? Atau malah sebenarnya aku menginginkan keduanya? Aku tidak tahu. Karena walaupun aku hanya menginginkan salah satunya, hal tersebut tidak akan pernah terjadi. Jika aku diberi kesempatan untuk membalikkan waktu atau menghentikannya, aku akan memilih untuk berada kepada kebahagiaan semu itu.

Tuesday, August 18, 2015

Kehadiranmu

Banyak hal yang membuatku masih mengharapkan kehadiranmu di kehidupanku yang semu ini. Apa perlu aku menuliskan apa saja yang aku sukai mengenai dirimu? Mungkin bila itu perlu, untuk membuatmu berhenti sejenak dan menengok ke arahku, aku akan lakukan itu.
            Apa yang aku sukai dari dirimu? Banyak. Aku suka dirimu yang bisa membuatku melupakan seluruh masalah yang sedang terjadi kepadaku. Aku suka dirimu yang bisa membuat diriku merasa dicintai. Aku suka dirimu yang bisa membuatku tertawa, walau beribu hal menyeretku untuk bersedih. Aku suka dirimu yang mau menceritakan masalahmu kepadaku, atau menceritakan kabar gembira yang kamu punya, dengan sinar kebahagiaan yang sungguh terpancar di matamu. Aku suka sifat usilmu yang bukan membuatku marah, tetapi membangunkan beribu kupu-kupu di perutku. Aku suka dirimu yang sering memarahiku karena kebodohan dan kekanakan diriku, seperti seorang figur kakak dan ayah yang tidak pernah aku miliki. Aku suka dirimu dan seluruh perhatianmu, walau hanya berupa perhatian kecil yang datang dari dirimu yang cuek. Aku suka dirimu dan visi hidupmu yang berusaha untuk tetap bahagia, walaupun banyak masalah menumpuk yang harus diselesaikan secepatnya. Aku suka dirimu yang tidak lupa akan Tuhan dan selalu berusaha menghadirkan diri-Nya, walau aku tau kamu bukan oranglah orang religius. Aku suka dirimu yang mau bekerja keras, dan tidak memanfaatkan lingkungan sekitarmu untuk membantu dirimu. Aku suka dirimu yang tidak memanfaatkan diriku, walau aku tau kamu tau akan perasaanku yang bodoh ini. Aku suka dirimu yang mencintai keluargamu, dan mendahulukan mereka dibandingkan teman atau apapun itu. Aku suka dirmu yang bersifat apa adanya, dan tidak berusaha untuk menjadi orang lain. Aku suka dirimu yang mendengarkan seluruh keluh kesahku walaupun aku tau terkadang bukan hal yang penting. Aku suka dirimu yang dengan mudah melupakan suatu hal. Hal yang salah satunya termaksud diriku.
            Masih banyak hal yang aku sukai dari dirimu yang tidak bisa aku tuliskan semuanya. Aku mencintaimu. Dan aku menyukai seluruh dirimu, baik kelebihan atau kekuranganmu. Aku bodoh, dan aku tau itu. Aku membuat semua orang disekitarku merasa lelah kepada diriku. Aku membuatmu lelah kepada diriku. Kalau aku boleh katakan, aku juga merasa lelah kepada dirku sendiri. Masih saja berada di dalam fase yang sama. Terus saja teringat-ingat dan berpegangan pada masa lalu.
            Kamu yang jauh disana, menari-nari terbang semakin jauh dan jauh. Kamu seperti balon gas yang ketika dilepaskan, tidak akan bisa aku raih kembali. Aku tidak bisa meraih dirimu kembali kepelukanku. Seberapa aku berusaha untuk menggapaimu, hal itu tidak akan pernah tercapai. Aku hanya bisa melihatmu, melihat keindahanmu dari bawah sini. Tanpa bisa menyentuhmu kembali. Aku tau, kamu tidak akan terus melayang-layang di langit yang biru itu. Ketika kamu sudah kehilangan gas nitrogenmu yang membantumu untuk terbang, kamu akan kembali ke bumi tempatku berpijak. Tetapi aku tahu, ketika kamu kembali ke daratan, bukan kepadakulah kamu akan berlabuh. Seseorang akan mengambilmu, dan kamu akan berlabuh kepada orang tersebut.
            Memikirkan dirimu berada dalam gengaman orang lain, sungguh mengusik diriku. Apakah yang orang-orang katakan bahwa cinta tidak perlu memiliki, tidak berlaku kepadaku? Tapi apakah aku mencintaimu? Atau hanya obsesi belakaku yang hanya ingin memiliki mu? Sebuah obsesi yang sebenarnya hanya merugikan diriku sendiri. Sebuah obsesi yang sebenarnya dan seharusnya sudah aku musnahkan dari dulu, ketika aku melepaskan tali balonmu itu.
            Aku tidak tahu apa yang aku harus lakukan. Apakah aku perlu menulis beribu tulisan tentang dirimu untuk membuatmu kembali kepadaku? Ku rasa tidak. Sebanyak apapun aku menulis, sebesar apapun yang aku korbankan untukmu, sebesar apapun usahaku, tidak akan bisa membuatku kembali meraihmu. Aku tau apa yang harus aku lakukan dari lama adalah melupakan dirimu. Termaksud melupakan semua apa yang aku impikan akan masa depanku bersama dirimu.

Wednesday, August 12, 2015

Bertahan

Terkadang aku berpikir, mengapa aku seperti ini? Mengapa aku bodoh? Mengapa aku tidak mudah menyerah padahal semuanya sudah jelas? Sudah jelas terlihat tetapi masih saja aku ingkari.

Semua rasa dan kata yang terus menghantuiku sudah aku sampaikan. Memang tidak semua, dan tidak bisa menggambarkan sepenuhnya apa yang aku rasakan. Tetapi, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini. Saat di mana logika dan akal sehatku berkata untuk terus maju dan meninggalkan masa lalu itu. Saat di mana sekitarku sudah menyerah kepadaku sejak lama. Tetapi apa yang aku lakukan? Aku terus berkata kepada mereka untuk bertahan sebentar saja. Bertahan sebentar seperti apa yang egoku inginkan.

Bertahan? Ingin aku menertawai diriku dan meneriakinya. Apa sebenarnya yang aku tunggu? Apakah aku harus menunggu sampai air mataku kering? Air mata? Bukankah memang sudah kering dari beberapa saat yang lalu? Bukankah air mata itu sudah menyerah kepada diriku, sehingga tidak mau menampakkan dirinya lagi? Tidak lagi mau membantu untuk menenangkan diriku. Tidak mau membantuku untuk mengurangi kesesakan ini.

Apakah aku harus menunggu sampai akal sehatku menghilang dan menyerah kepada diriku sendiri? Mungkin memang perlu seperti itu untuk menyadarkan diriku ini. Diriku yang entah keras kepala, bodoh, atau yang senang menyakiti diriku sendiri. Tetapi apakah sebenarnya akal sehatku memang sudah mulai meninggalkan diriku sedikit demi sedikit? Menyerah kepadaku seperti air mata itu.

Lalu, pada apakah aku harus bertahan? Tidak ada lagi yang membantuku untuk bertahan. Tubuhku sudah menyerah sejak lama. Akal sehatku sudah tidak mau bekerja lagi. Air mata, air mata yang dapat mewakili perasaan dan egokupun sudah turut menyerah. Karena memang tidak ada yang bisa aku tunggu. Ia yang aku tunggu, sudah sejak lama menyerah kepadaku.

Lalu apa yang aku lakukan sekarang? Masih ingin bertahan pada kekosongan dan kehampaan itu? Jika memang yang terbaik adalah menyerah, ajarilah aku untuk menyerah. Ajarilah aku untuk berhenti bertahan dalam kekosongan itu. Ajarilah aku untuk melawan egoku yang terus mengatakan kepada diriku untuk terus bertahan.

Kepadamu air mata, izinkanlah aku menggunakan dirimu sekali saja. Untuk memadamkan rasa yang membebaniku ini. Karena aku tau, aku tidak bisa bertahan bila memang seluruh tubuhku memang sudah tidak mampu untuk membantuku bertahan. 

Tuesday, June 30, 2015

Untuk mu Laki-Laki yang Menyita Pikiranku Saat Ini.

Hai, apa kabar? Sudah berapa minggu kita tidak bertemu? Satu? Dua? Atau lebih? Bagaimana kabarmu? Tentu baik bukan? Apakah kamu menikmati liburanmu? Apa saja yang sudah kamu kerjakan? Tempat-tempat apa saja yang sudah kamu kunjungi? Apa kamu memikirkan diriku? Walau hanya sedetik atau dua? Mungkin tidak. Mungkin kamu malah sudah lupa dengan eksistensiku di dunia ini. Atau mungkin kamu sedang mengasihani diriku yang masih saja seperti pengemis cinta dihadapanmu?

Sayang… apakah aku bisa memanggilmu sayang? Apa ada kata lain yang bisa aku gunakan untuk memanggil dirimu? Aku ingin memberikan sebuah tulisan untuk dirimu. Tulisan yang aku tulis untuk dirimu. Aku juga tidak tau apakah kamu akan membacanya atau tidak, tapi biarkanlah aku melukiskan apa yang aku rasakan kedalam kata-kata ini. Mungkin memang bukan tulisan indah yang membuat jantungmu berdegup kencang atau membangkitkan rasa penasaranmu hingga membuatmu ingin membacanya sampai akhir, tetapi izinkan lah aku untuk tetap mengungkapkannya sebelum aku memusnahkan perasaan ini. Sebelum aku berusaha untuk melenyapkan setiap inci kenangan tentangmu dalam pikiranku.

Harus darimana aku memulainya? Dari pertemuan pertama kita? Mungkin kamu lupa bagaimana kita bertemu. Dan mungkin kamu lupa kapan kita bertemu pertama kali. Saat itu ketika aku dengan ragu menghampirimu. Ketika ada perasaan takut yang menjalar ditubuhku. Tapi... Aku tau dibalik ketakutan dan keraguan itu, ada satu hal yang membuat mataku tidak berhenti melihatmu. Ada satu hal yang diriku tidak pahami, yang membuatku menyadari kehadiranmu jauh sebelum aku menghampirimu. Ketakutan yang aku rasakan berubah ketika aku merasakan sebuah kehangatan yang kamu berikan. Memang tidak besar, tetapi mampu untuk menghapus seluruh rasa takut yang aku rasakan.

Pertemuan pertama di mana satu dua kalimat tergantikan dengan beribu kalimat cerita yang tidak henti aku ucapkan kepadamu. Seperti sedang bertemu dengan kawan lama, aku melucuti seluruh perisaiku didepanmu. Menceritakan semua hal tentang diriku. Menguliti diriku sendiri, mempersilahkan dan mengenalkan kamu akan duniaku. Dengan mudahnya kamu membuatku nyaman berada didekatmu, membuatku kecanduan untuk terus berbicara dengan dirimu. Walau aku tau, saat itu kamu belum memberikanku kunci ke dalam jiwamu. Masih ada tembok pembatas yang kuat dan kokoh yang menghalangiku untuk menatap jiwamu dengan jelas.

Sedikit demi sedikit aku berusaha untuk meruntuhkan tembok yang kamu buat, agar aku bisa masuk kedalamnya. Dan ketika saat itu tiba, tahukah kamu apa yang aku rasakan ketika aku untuk pertama kalinya mendapatkan kesempatan untuk mengintip kebalik tembok itu? Walau hanya ada sebongkah kecil lubang yang hanya memberi ruang untuk mataku, aku tetap menggunakan kesempatan itu untuk melahap semua yang ada. Melahap apa yang bisa aku gapai. Tetapi ada perasaan takut yang menghantui diriku. Takut jika tiba-tiba kamu menambal kembali lubang itu dan membutakan diriku akan pemandangan yang ada dibaliknya. Karena itu, karena ketakutan itulah aku... seperti anak kecil rakus, aku memakan semua makanan didepannya dengan cepat dan terburu-buru. Membuatku tidak dapat menelan keseluruhan itu semua yang aku dapatkan. Sehingga membuatmu mungkin beranggapan bahwa aku bukan pendengar yang baik. Atau pemberi respon yang baik. Tapi... Saat itu... Di detik itu... Di mana kamu mulai mempercayaiku, di mana kamu mulai mempersilahkan aku mengintip ke dalam 'ruang pribadimu', aku merasakan perasaan hangat yang menjalar keseluruh syaraf-syaraf tubuhku. Membuatku kehilangan koordinasi terhadap tubuhku. Melumpuhkan kewenanganku akan syaraf-syaraf ini. Merekahkan senyuman yang tidak aku harapkan dibibirku. Memaksa jantungku untuk berlari lebih kencang. Menghabiskan persediaan oksigen di dalam paru-paruku.


Memang perasaan hangat itu ada. Dan aku menyukainya. Tetapi sayang, aku tersadar bahwa aku tidak bisa terus menerus mengintip kebalik celah itu. Tidak bisa terus menerus melahapnya tanpa memperdulikan apakah aku masih bisa mencernanya atau tidak. Saat itu, aku seperti berada diujung jurang yang dalam. Karena semakin aku menuruti nafsuku untuk terus mengintip, semakin dekat juga jarak antara aku dan jurang itu. Dengan berat aku mulai membangun sebuah pembatas untuk hatiku. Satu demi satu pembatas itu aku pasang, pasang dan pasang sampai aku pikir pembatas itu sudah cukup kuat untuk menopangku. Agar aku tidak jatuh terpeleset ke dalam buaianmu. Agar aku dapat menjaga hatiku sendiri untuk tidak terjatuh dan terluka. Dan saat itu, ada dua hal yang menjadi tali yang mengikatku kuat-kuat yang membantuku agar aku tidak terjatuh. Kamu yang tidak menyukaiku dan kenyataan bahwa kita berbeda.


Memang ada satu ketika aku tidak memperdulikan perbedaan tersebut. Bukankah perbedaan itu bagus? Berbeda untuk saling melengkapi. Seperti kepingan puzzle, saling melengkapi untuk menjadi satu kesatuan yang utuh. Kesatuan gambar yang cantik dan sedap untuk dipandang oleh mata. Aku mengisi ruas cekungmu, dan kamu mengisi ruas cekungku. Membuat kita saling bertautan. Memang indah jika dibayangkan. Dan terlihat mudah. Kita memang sebuah kepingan puzzle dalam kehidupan ini. Tetapi kita merupakan dua keping puzzle yang berbeda. Yang diciptakan oleh pencipta untuk memiliki gambar yang berbeda. Yang akan menghasilkan hasil yang berbeda. Sebesar apapun aku memaksakan kita untuk saling bertautan. Sebesar apapun aku berusaha agar kita bisa ada pada puzzle yang sama. Pada akhirnya aku tetap tidak akan pernah bisa mengisi ruas cekungmu. Begitu juga dirimu.


Pada awalnya, perbedaan itulah yang membuatku tetap berada diposisiku. Membantuku agar tidak terjerembap ke dalam jurang yang dalam. Tetapi kamu yang tiba-tiba saja memperbesar lubang pada tembokmu. Kamu yang tiba-tiba mengulurkan tanganmu kepadaku dan melubangi pembatas milikku sedikit demi sedikit agar kamu bisa menarikku maju. Menarikku terus maju dan maju sampai tali penahanku putus dan tidak ada lagi tembok yg membatasi. Dengan sikap baik dan manis yang melelehkanku, kamu berhasil untuk membuatku semakin yakin bahwa perbedaan itu tidak penting. Membuatku berpikir bahwa jurang itu tidak akan menyakitkanku. Jurang yang akan memberikan kebahagiaan untuk diriku. Yang membuatku akhirnya melompat kedalamnya. Ya kamu benar sayang, saat aku melompat bebas melayang-layang dan menarui-nari seperti bunga kapas yang terlepas dari pohonnya, yang aku rasakan hanyalah keberadaan hormon serotinin dan dopamin di dalam diriku. Hormon yang membuatku merasa menjadi perempuan yang bahagia.


Aku kira bukan hanya aku yang terjun bebas memasuki jurang yang gelap itu. Aku kira kamu yang awalnya tadi menarikku, menjagaku dari belakang. Tetapi ketika jiwa dan ragaku terhempas ke dasar jurang itu, ketika tubuhku terbaret karena permukaan kasarnya, dan ketika aku menengokkan kepalaku untuk bersandar kepadamu agar luka yang aku rasakan tidak terlalu perih. Aku tidak dapat melihatmu. Kamu tidak ada dibelakangku. Perasaan bahagia yang awalnya aku rasakan berubah menjadi rasa bingung dan takut. Takut akan kegelapan yang menerpaku disini. Takut akan kesendirian yang ada. 

Sayang, apakah kamu mendengar teriakanku dari bawah sini? Berteriak sekuat tenaga untuk meneriakkan namamu. Berteriak sampai aku merasakan sakit pada tenggorokanku. Tetapi kamu tidak pernah turun. Tidak pernah sama sekali menenggokkan kepalamu ke jurang tempatku berada. Ketika kebahagiaan dan kemanisan yang kamu berikan berubah sedikit demi sedikit menjadi sebuah kedinginan. Ketika hanya aku saja yang terjatuh ke dalam lubang itu. Ketika tidak ada lagi cahaya yang terpancar dari atas kepalaku. Ketika hanya aku saja yang terkubur dalam-dalam. Apa yang bisa aku lakukan? Hanya menerima kenyataan bahwa kebahagiaan yang awalnya aku bayangkan hanyalah sebuah ilusi yang ada dan hanya aku yang merasakan.

Aku tau sayang, sudah saatnya aku tersadar dan menggunakan otakku untuk menghadapi kenyataan yang ada. Menggunakan otakku untuk memikirkan bagaimana caranya agar aku dapat keluar dari jurang ini. Tanpa mengharapkan dirimu untuk turun menemaniku di sini. Untuk menerima kenyataan bahwa tidak akan ada kamu yang turun ke dalam menjemputkku. Menyadarkanku bahwa kita memang dua buah keping puzzle yang berbeda. Ruasmu diciptakan bukan untuk bertautan dengan ruasku. Seperti mimpi, sudah saatnya aku terbangun dari tidurku. Mau atau tidak mau, aku tidak bisa terus hidup dalam mimpi dan ilusiku. Karena matahari sudah menyengat, memaksaku untuk bangun dan membuka mata akan realita yang ada.

Tetapi, bolehkah aku meminta satu permintaan darimu? Jika nanti aku berhasil terbangun dari tidurku. Ketika aku sudah berhasil untuk keluar dari jurang yang dalam ini. Bolehkah kita memulai semuanya dari awal? Di mana tidak ada intrinsik romansa di dalamnya.  Di mana kita sama-sama membangun tembok yang memisahkan di depan kita. Di mana kita bisa menceritakan penggalan kisah masing-masing. Tapi… apakah akan ada saat itu?


Salam sayang,


Aku

Friday, January 9, 2015

Sia-Sia

Bibirku kelu membeku setiap kali aku bersamamu. Jantungku berdetak dengan liarnya seperti burung yang sangat ingin lepas dari sangkarnya. Aku menatapmu dengan mataku yang besar. Mata yang tampak ingin melahapmu dengan kerinduan ini. Kerinduan yang bergemuruh dan tidak tertahankan. Sejuta pertanyaan menari-nari dalam pikiranku seperti memaksaku untuk mengatakannya. Tetapi kekeluan ini membuatku tidak dapat mengutarakannya. Membuatku kehilangan kata-kata.
‘Apa kabar?’
Bagaimana kerjamu?’
Hingga pertanyaan yang tidak mungkin aku utarakan kepadamu. Pertanyaan yang mungkin akan merubah sikapmu kepadaku:
apakah kamu merindukanku?’

Ingin aku mendengar bahwa kamu merindukanku. Karena sungguh berdusta diriku jika berkata bahwa aku tidak merindukanmu. Aku. Sungguh. Merindukan. Dirimu. Merindukan wajahmu, sentuhan tanganmu, tawamu, suaramu, pelukmu bahkan merindukan hal kecil seperti aroma tubuh dirimu. Aroma yang menenangkan setiap kali aku berada di dekatmu.

Melihat dan berada didekatmu membuat kupu-kupu diperutku terbangun dan menggelitikku. Kamu seperti sumber energi bagiku. Energi besar yang membuatku terus bersemangat. Bertemu dengan dirimu membuatku ketagihan. Satu pertemuan membawaku menginginkan untuk pertemuan berikutnya. Berikutnya. Berikutnya lagi. Seperti pencandu narkoba yang merindukan ganjanya, aku selalu melakukan seribu cara untuk dapat bertemu dengan dirimu.

Tetapi merindukan dirimu terdengar salah. Seperti perbuatan yang berdosa dan harus dihindari. Karena semua orang disekitarku berkata bahwa aku tidak boleh menyukaimu. Menyukaimu saja tidak boleh apalagi mencintaimu. Mereka melarangku. Melarangku untuk menyukaimu. Aku tau menyukaimu adalah salah. Tetapi seperti Nabi Adam yang tetap memakan buah terlarang itu, akupun tetap menyukai dirimu. Aku tetap terjatuh dan terjerembab oleh pesonamu. Menarikku hingga terus jatuh ke titik yang terdalam. Membuatku sulit kembali ke permukaan.

Disaat aku terjatuh dan terjerembab ke dalammu, aku mengulurkan tanganku untuk menarikmu bersamaku. Disaat ragaku berusaha menarik ragamu ke dalam dekapku, jemari-jemari hatiku berusaha untuk meraih kenop pintu hatimu. Ku kerahkan seluruh tenaga yang aku punya untuk membukanya. Ku gunakan seribu taktik untuk membukanya. Tetapi pintu itu tetap terdiam tidak bergeming seperti tidak terpengaruh akan kehadiran jemari-jemari hatiku. Tidak peduli dengan seluruh usaha yang sudahku lakukan. Seperti pintu baja, pintu hatimu sulit dan sangat keras untuk ku raih dan ku buka. Semakin aku berusaha, jiwa dan ragamu semakin melayang menjauh dariku. Terbang bebas terbawa angin menghindari diriku yang hanya bisa terdiam dan memandangmu. Aku sadar bahwa jemari-jemari ini mulai kehilangan kekuatannya. Mulai lelah untuk berusaha membuka pintu baja itu. Mulai lelah untuk menarik ragamu dalam dekapanku. Apakah itu berarti aku harus berhenti? berhenti dan menuruti apa yang orang lain katakan? 

Karena kapanpun aku berhenti berusaha, akhir dari ini semua akan sama. Akhir yang gelap dan tidak berujung. Yang hanya bisa membuatku tertawa. Tertawa pahit untuk menertawakan diriku dan hati ini. Karena pada akhirnya aku tau bahwa tidak akan pernah ada cerita tentang dirimu dan diriku. Tidak akan ada kata kita di dalam hubungan ini.