Sayang… apakah aku bisa
memanggilmu
sayang? Apa ada kata lain yang bisa aku gunakan untuk memanggil dirimu?
Aku
ingin memberikan sebuah tulisan untuk dirimu. Tulisan yang aku tulis
untuk dirimu. Aku juga
tidak tau apakah kamu akan membacanya atau tidak, tapi biarkanlah aku
melukiskan apa yang aku rasakan kedalam kata-kata ini. Mungkin memang
bukan tulisan indah yang membuat jantungmu berdegup kencang atau
membangkitkan rasa penasaranmu hingga membuatmu ingin membacanya sampai
akhir, tetapi izinkan lah aku untuk tetap
mengungkapkannya sebelum aku memusnahkan perasaan ini. Sebelum aku
berusaha
untuk melenyapkan setiap inci kenangan tentangmu dalam pikiranku.
Harus darimana aku memulainya? Dari pertemuan pertama kita? Mungkin kamu lupa bagaimana kita bertemu. Dan mungkin kamu lupa kapan kita bertemu pertama kali. Saat itu ketika aku dengan ragu menghampirimu. Ketika ada perasaan takut yang menjalar ditubuhku. Tapi... Aku tau dibalik ketakutan dan keraguan itu, ada satu hal yang membuat mataku tidak berhenti melihatmu. Ada satu hal yang diriku tidak pahami, yang membuatku menyadari kehadiranmu jauh sebelum aku menghampirimu. Ketakutan yang aku rasakan berubah ketika aku merasakan sebuah kehangatan yang kamu berikan. Memang tidak besar, tetapi mampu untuk menghapus seluruh rasa takut yang aku rasakan.
Pertemuan pertama di mana satu dua kalimat tergantikan dengan beribu kalimat cerita yang tidak henti aku ucapkan kepadamu. Seperti sedang bertemu dengan kawan lama, aku melucuti seluruh perisaiku didepanmu. Menceritakan semua hal tentang diriku. Menguliti diriku sendiri, mempersilahkan dan mengenalkan kamu akan duniaku. Dengan mudahnya kamu membuatku nyaman berada didekatmu, membuatku kecanduan untuk terus berbicara dengan dirimu. Walau aku tau, saat itu kamu belum memberikanku kunci ke dalam jiwamu. Masih ada tembok pembatas yang kuat dan kokoh yang menghalangiku untuk menatap jiwamu dengan jelas.
Sedikit demi sedikit aku berusaha untuk meruntuhkan tembok yang kamu buat, agar aku bisa masuk kedalamnya. Dan ketika saat itu tiba, tahukah kamu apa yang aku rasakan ketika aku untuk pertama kalinya mendapatkan kesempatan untuk mengintip kebalik tembok itu? Walau hanya ada sebongkah kecil lubang yang hanya memberi ruang untuk mataku, aku tetap menggunakan kesempatan itu untuk melahap semua yang ada. Melahap apa yang bisa aku gapai. Tetapi ada perasaan takut yang menghantui diriku. Takut jika tiba-tiba kamu menambal kembali lubang itu dan membutakan diriku akan pemandangan yang ada dibaliknya. Karena itu, karena ketakutan itulah aku... seperti anak kecil rakus, aku memakan semua makanan didepannya dengan cepat dan terburu-buru. Membuatku tidak dapat menelan keseluruhan itu semua yang aku dapatkan. Sehingga membuatmu mungkin beranggapan bahwa aku bukan pendengar yang baik. Atau pemberi respon yang baik. Tapi... Saat itu... Di detik itu... Di mana kamu mulai mempercayaiku, di mana kamu mulai mempersilahkan aku mengintip ke dalam 'ruang pribadimu', aku merasakan perasaan hangat yang menjalar keseluruh syaraf-syaraf tubuhku. Membuatku kehilangan koordinasi terhadap tubuhku. Melumpuhkan kewenanganku akan syaraf-syaraf ini. Merekahkan senyuman yang tidak aku harapkan dibibirku. Memaksa jantungku untuk berlari lebih kencang. Menghabiskan persediaan oksigen di dalam paru-paruku.
Memang perasaan hangat itu ada. Dan aku menyukainya. Tetapi sayang, aku tersadar bahwa aku tidak bisa terus menerus mengintip kebalik celah itu. Tidak bisa terus menerus melahapnya tanpa memperdulikan apakah aku masih bisa mencernanya atau tidak. Saat itu, aku seperti berada diujung jurang yang dalam. Karena semakin aku menuruti nafsuku untuk terus mengintip, semakin dekat juga jarak antara aku dan jurang itu. Dengan berat aku mulai membangun sebuah pembatas untuk hatiku. Satu demi satu pembatas itu aku pasang, pasang dan pasang sampai aku pikir pembatas itu sudah cukup kuat untuk menopangku. Agar aku tidak jatuh terpeleset ke dalam buaianmu. Agar aku dapat menjaga hatiku sendiri untuk tidak terjatuh dan terluka. Dan saat itu, ada dua hal yang menjadi tali yang mengikatku kuat-kuat yang membantuku agar aku tidak terjatuh. Kamu yang tidak menyukaiku dan kenyataan bahwa kita berbeda.
Memang
ada satu ketika aku tidak memperdulikan perbedaan tersebut. Bukankah
perbedaan itu bagus? Berbeda untuk saling melengkapi. Seperti kepingan
puzzle, saling melengkapi untuk menjadi satu kesatuan yang utuh.
Kesatuan gambar yang cantik dan sedap untuk dipandang oleh mata. Aku
mengisi ruas cekungmu, dan kamu mengisi ruas cekungku. Membuat kita
saling bertautan. Memang indah jika dibayangkan. Dan terlihat mudah.
Kita memang sebuah kepingan puzzle dalam kehidupan ini. Tetapi kita
merupakan dua keping puzzle yang berbeda. Yang diciptakan oleh pencipta
untuk memiliki gambar yang berbeda. Yang akan menghasilkan hasil yang
berbeda. Sebesar apapun aku memaksakan kita untuk saling bertautan.
Sebesar apapun aku berusaha agar kita bisa ada pada puzzle yang sama.
Pada akhirnya aku tetap tidak akan pernah bisa mengisi ruas cekungmu.
Begitu juga dirimu.
Pada
awalnya, perbedaan itulah yang membuatku tetap berada diposisiku.
Membantuku agar tidak terjerembap ke dalam jurang yang dalam. Tetapi
kamu yang tiba-tiba saja memperbesar lubang pada tembokmu. Kamu yang
tiba-tiba mengulurkan tanganmu kepadaku dan melubangi pembatas milikku
sedikit demi sedikit agar kamu bisa menarikku maju. Menarikku terus maju
dan maju sampai tali penahanku putus dan tidak ada lagi tembok yg
membatasi. Dengan sikap baik dan manis yang melelehkanku, kamu berhasil
untuk membuatku semakin yakin bahwa perbedaan itu tidak penting.
Membuatku berpikir bahwa jurang itu tidak akan menyakitkanku. Jurang
yang akan memberikan kebahagiaan untuk diriku. Yang membuatku akhirnya
melompat kedalamnya. Ya kamu benar sayang, saat aku melompat bebas
melayang-layang dan menarui-nari seperti bunga kapas yang terlepas dari
pohonnya, yang aku rasakan hanyalah keberadaan hormon serotinin dan
dopamin di dalam diriku. Hormon yang membuatku merasa menjadi perempuan
yang bahagia.
Aku kira bukan hanya aku yang
terjun bebas memasuki jurang yang gelap itu. Aku kira kamu yang awalnya
tadi menarikku, menjagaku dari belakang. Tetapi ketika jiwa dan ragaku
terhempas ke dasar jurang itu, ketika tubuhku terbaret karena permukaan
kasarnya, dan ketika aku menengokkan kepalaku untuk bersandar kepadamu
agar luka yang aku rasakan tidak terlalu perih. Aku tidak dapat
melihatmu. Kamu tidak ada dibelakangku. Perasaan bahagia yang awalnya
aku rasakan berubah menjadi rasa bingung dan takut. Takut akan kegelapan
yang menerpaku disini. Takut akan kesendirian yang ada.
Sayang,
apakah kamu mendengar teriakanku dari bawah sini? Berteriak sekuat
tenaga untuk meneriakkan namamu. Berteriak sampai aku merasakan sakit
pada tenggorokanku. Tetapi kamu tidak pernah turun. Tidak pernah sama
sekali menenggokkan kepalamu ke jurang tempatku berada. Ketika
kebahagiaan dan kemanisan yang kamu berikan berubah sedikit demi sedikit
menjadi sebuah kedinginan. Ketika hanya aku saja yang terjatuh
ke dalam lubang itu. Ketika tidak ada lagi cahaya yang terpancar dari
atas kepalaku. Ketika hanya aku saja yang terkubur dalam-dalam. Apa yang
bisa aku lakukan? Hanya menerima kenyataan bahwa kebahagiaan yang awalnya aku bayangkan hanyalah
sebuah ilusi yang ada dan hanya aku yang merasakan.
Aku
tau sayang, sudah saatnya aku
tersadar dan menggunakan otakku untuk menghadapi kenyataan yang ada.
Menggunakan otakku untuk memikirkan bagaimana caranya agar aku dapat
keluar dari jurang ini. Tanpa mengharapkan dirimu untuk turun menemaniku
di sini. Untuk menerima kenyataan bahwa tidak akan ada kamu yang turun
ke dalam menjemputkku. Menyadarkanku bahwa kita memang dua buah keping
puzzle yang berbeda. Ruasmu diciptakan bukan untuk bertautan dengan
ruasku. Seperti mimpi, sudah saatnya aku terbangun dari tidurku. Mau
atau tidak mau, aku tidak bisa terus hidup dalam mimpi dan ilusiku.
Karena matahari sudah menyengat, memaksaku untuk bangun dan
membuka mata akan realita yang ada.
Tetapi, bolehkah
aku meminta satu permintaan darimu? Jika nanti aku berhasil
terbangun dari tidurku. Ketika aku sudah berhasil untuk keluar dari
jurang yang dalam ini. Bolehkah kita memulai semuanya dari awal? Di mana
tidak ada intrinsik romansa di dalamnya. Di mana kita sama-sama
membangun tembok yang memisahkan di depan kita. Di mana kita bisa
menceritakan
penggalan kisah masing-masing. Tapi… apakah akan ada saat itu?
Salam sayang,
Aku