Friday, January 9, 2015

Sia-Sia

Bibirku kelu membeku setiap kali aku bersamamu. Jantungku berdetak dengan liarnya seperti burung yang sangat ingin lepas dari sangkarnya. Aku menatapmu dengan mataku yang besar. Mata yang tampak ingin melahapmu dengan kerinduan ini. Kerinduan yang bergemuruh dan tidak tertahankan. Sejuta pertanyaan menari-nari dalam pikiranku seperti memaksaku untuk mengatakannya. Tetapi kekeluan ini membuatku tidak dapat mengutarakannya. Membuatku kehilangan kata-kata.
‘Apa kabar?’
Bagaimana kerjamu?’
Hingga pertanyaan yang tidak mungkin aku utarakan kepadamu. Pertanyaan yang mungkin akan merubah sikapmu kepadaku:
apakah kamu merindukanku?’

Ingin aku mendengar bahwa kamu merindukanku. Karena sungguh berdusta diriku jika berkata bahwa aku tidak merindukanmu. Aku. Sungguh. Merindukan. Dirimu. Merindukan wajahmu, sentuhan tanganmu, tawamu, suaramu, pelukmu bahkan merindukan hal kecil seperti aroma tubuh dirimu. Aroma yang menenangkan setiap kali aku berada di dekatmu.

Melihat dan berada didekatmu membuat kupu-kupu diperutku terbangun dan menggelitikku. Kamu seperti sumber energi bagiku. Energi besar yang membuatku terus bersemangat. Bertemu dengan dirimu membuatku ketagihan. Satu pertemuan membawaku menginginkan untuk pertemuan berikutnya. Berikutnya. Berikutnya lagi. Seperti pencandu narkoba yang merindukan ganjanya, aku selalu melakukan seribu cara untuk dapat bertemu dengan dirimu.

Tetapi merindukan dirimu terdengar salah. Seperti perbuatan yang berdosa dan harus dihindari. Karena semua orang disekitarku berkata bahwa aku tidak boleh menyukaimu. Menyukaimu saja tidak boleh apalagi mencintaimu. Mereka melarangku. Melarangku untuk menyukaimu. Aku tau menyukaimu adalah salah. Tetapi seperti Nabi Adam yang tetap memakan buah terlarang itu, akupun tetap menyukai dirimu. Aku tetap terjatuh dan terjerembab oleh pesonamu. Menarikku hingga terus jatuh ke titik yang terdalam. Membuatku sulit kembali ke permukaan.

Disaat aku terjatuh dan terjerembab ke dalammu, aku mengulurkan tanganku untuk menarikmu bersamaku. Disaat ragaku berusaha menarik ragamu ke dalam dekapku, jemari-jemari hatiku berusaha untuk meraih kenop pintu hatimu. Ku kerahkan seluruh tenaga yang aku punya untuk membukanya. Ku gunakan seribu taktik untuk membukanya. Tetapi pintu itu tetap terdiam tidak bergeming seperti tidak terpengaruh akan kehadiran jemari-jemari hatiku. Tidak peduli dengan seluruh usaha yang sudahku lakukan. Seperti pintu baja, pintu hatimu sulit dan sangat keras untuk ku raih dan ku buka. Semakin aku berusaha, jiwa dan ragamu semakin melayang menjauh dariku. Terbang bebas terbawa angin menghindari diriku yang hanya bisa terdiam dan memandangmu. Aku sadar bahwa jemari-jemari ini mulai kehilangan kekuatannya. Mulai lelah untuk berusaha membuka pintu baja itu. Mulai lelah untuk menarik ragamu dalam dekapanku. Apakah itu berarti aku harus berhenti? berhenti dan menuruti apa yang orang lain katakan? 

Karena kapanpun aku berhenti berusaha, akhir dari ini semua akan sama. Akhir yang gelap dan tidak berujung. Yang hanya bisa membuatku tertawa. Tertawa pahit untuk menertawakan diriku dan hati ini. Karena pada akhirnya aku tau bahwa tidak akan pernah ada cerita tentang dirimu dan diriku. Tidak akan ada kata kita di dalam hubungan ini.